Takmacam orang sakit. Hehe. Sebenarnya ummi sakit. Sangat sakit. Tapi ummi tak tunjuk di depan orang. Jam 8 lebih selesai sahaja suami solat terus saya ajak ke hospital. Suami memecut laju kereta kembara yang sangat banyak berjasa kepada kami. InsyaAllah lepas habis berpantang nanti Ummi akan sambung latih Fateh utk tak pakai pampers
Sholat Orang Sakit yang Melekat Najis, Apakah Sah?Orang yang Sedang Sakit Apakah Tetap Wajib Sholat 5 Waktu?Shalat Orang Yang SakitHukum Salat Bagi Orang SakitHukum Salat Bagi Orang SakitHukum Meninggalkan Shalat Karena Sakit dan DalilnyaTata Cara Shalat Orang Yang Sakit JAKARTA — Pakar Ilmu Alquran KH Ahsin Sakho menjelaskan, setiap umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan shalat lima waktu. “Itu menandakan bahwa shalat lima waktu ini merupakan ibadah yang sangat penting, jadi hukumnya wajib,” kata Kiai Ahsin. Sholat Orang Sakit yang Melekat Najis, Apakah Sah? JAKARTA – Sholat nya pasien yang membawa kantong najis urine karena terdapat lubang buatan di perut yang membuat kotoran dapat keluar dengan sengaja atau misal penggunaan kantong urine, apakah sholat nya sah? Dilansir di Elbalad, Jumat 12/11, melalui laman Facebook resmi Dar Al Ifta Mesir disebutkan mengenai hukum sholat bagi pasien dengan kondisi demikian. Maka baginya diharuskan untuk kembali mengambil wudhu satu kali sampai wudhunya batal oleh suatu hal lain selain dari kondisi hadas yang permanen tersebut. Tetap saja sholat itu menjadi hutang yang harus dibayarkan di kemudian hari. Orang yang Sedang Sakit Apakah Tetap Wajib Sholat 5 Waktu? JAKARTA – Sholat adalah ibadah wajib yang sangat penting bagi umat Islam. Lalu bagaimana dengan orang yang sedang sakit, apakah tetap wajib melaksanakan sholat? Dia menjelaskan bahwa pada prinsipnya orang sakit tidak dicabut kewajiban sholatnya. Artinya tidak mentang-mentang seseorang menderita suatu penyakit, lantas boleh meninggalkan sholat seenaknya. Tetap saja sholat itu menjadi hutang yang harus dibayarkan di kemudian hari. Caranya dengan melakukan gerakan dan posisi-posisi sholat semampu yang bisa dilakukan, meskipun tidak sampai sempurna. Prinsipnya, apa yang tidak bisa didapat secara keseluruhannya, bukan berarti harus ditinggalkan semuanya. Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan kaum Muslimin untuk agar bertaqwa sesuai kemampuan mereka. Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya[1], sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Imran bin Husain Radhiyallahu anhu Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Di antara dasar kebolehan ini adalah h adits Ibnu Abas Radhiyallahu anhu yang berbunyi Abu Kuraib berkata Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu anhu Mengapa beliau berbuat demikian? Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihâdhoh yang diperintahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempecepat Isya’. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun selama akalnya masih baik[4]. Hal itu karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di Masjid dan berkata Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran. Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia”. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk, berdasarkan h adits Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama. [11] Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar adalah, kesulitan Masyaqqah membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa; demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk”. Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah dengan dasar keumuman h adits Ibnu Abas Radhiyallahu anhu yang berbunyi Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi – beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam h adits Imrân bin al-Hushain Radhiyallahu anhu Dalam h adits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman h adits Aisyah Radhiyallahu anha yang berbunyi Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas bertelekan bantal, beliau Shallallahu alaihi wa sallam pun mengambil dan melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk al-Imâ` dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu. Dengan harapan, setelah ini mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya. Hukum Salat Bagi Orang Sakit Salat merupakan tiang agama yang harus dilakukan sebagai bentuk tunduk kepada Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Namun jika mengalami sakit kecil seperti pusing maupun pilek, usahakan tetap melakukan salat wajib. Baca Juga Jusuf Kalla Ekonomi Umat Islam Indonesia Terbelakang Karena Tidak Tegakkan Sunnah Rasul Hukum Salat Bagi Orang Sakit Salat merupakan tiang agama yang harus dilakukan sebagai bentuk tunduk kepada Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Namun jika mengalami sakit kecil seperti pusing maupun pilek, usahakan tetap melakukan salat wajib. Baca Juga Jusuf Kalla Ekonomi Umat Islam Indonesia Terbelakang Karena Tidak Tegakkan Sunnah Rasul Mengapa tidak Engkau tangguhkan kewajiban berperang kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?” Katakanlah “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” An Nisa77. Hukum Meninggalkan Shalat Karena Sakit dan Dalilnya Mengapa tidak Engkau tangguhkan kewajiban berperang kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?” Katakanlah “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” An Nisa77 Jika seseorang mengalami sakit yang membuatnya kehilangan kesadaran, seperti koma atau gila. Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/257, “Jika orang tua ana saat sakit, hilang akalnya, tidak sadar sama sekali, maka shalat gugur baginya. Dalam kedua kondisi tersebut, tidak boleh dilakukan shalat untuk orang tua anda. Abu Kuraib rahimahullah berkata Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu anhu Mengapa beliau berbuat demikian? Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Imran Bin Husain Radhiyallahu anhu “Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran” [HR Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319] Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar adalah, kesulitan Masyaqqah membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. “Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [al-Baqarah/ 2185] Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa; demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk” Syarhu al-Mumti’ 4/461 Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. 323 menyatakan Yang pasti bahwa hadits ini dengan kumpulnya jalan periwayatannya adalah shohih Tata Cara Shalat Orang Yang Sakit Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan hamba. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai kemudahan dan keringanan shalat bagi orang sakit. Shalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. “Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk tidak shalat selama 40 hari” HR. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah kesulitan seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya. “Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ shalatlah di rumah-rumah kalian ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” HR. “Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan” HR. Dan kondisi sakit terkadang menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami orang-orang” HR. Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ah. Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” Majmu’ Al Fatawa, 22/293. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda “Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” HR. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Jika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan kepala. عاد صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مريضًا فرآه يصلي على وسادةٍ ، فأخذها فرمى بها ، فأخذ عودًا ليصلي عليه ، فأخذه فرمى به ، وقال صلِّ على الأرضِ إن استطعت ، وإلا فأوم إيماءً ، واجعل سجودَك أخفضَ من ركوعِك “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ HR. “Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.” Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap kiblat sebisa mungkin. والمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة، فإذا لم يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة، يخشى من خروج وقت الصلاة فإنه يصلي على حسب حاله Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. “Berbuat luruslah, atau jika tidak mampu maka mendekati lurus” HR. Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5] Namun jika tidak memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan. Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Jika tidak memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk. Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya lumpuh total Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati. Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam hati. Demikian, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan afiyah dan salamah kepada pembaca sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi sakit. [2] Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 15/229, Asy Syamilah [5] Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 15/229, Asy Syamilah
4 Bunda masih harus membeli pampers sekali pakai, untuk dipakai selama siang hari. Karena di siang hari, akan sulit bagi bunda untuk langsung mencuci Clodi sambil mengasuh anak. Maka gunakanlah minimal 2 buah pampers sekali pakai selama siang hari. Dari mulai mandi pagi sampai akan mandi sore. Setelah mandi sore, mulai gunakan Clodi.
Pembaca SHALAT MENGGUNAKAN PAMPERS Dari UMI YAYAT. Mau tanya tentang sholat orang yang sakit yang menggunakan pempes? Jawaban Waalaikumussalamu warahmatullahi wabarakatuh. Kondisi seperti ini yang mana seseorang selalu mengeluarkan najis dari dalam dirinya dengan tanpa kontrol dan kondisi lain seperti orang yang selalu buang angin terus-terusan atau buang air terus-terusan dan lainnya, dianalogikan dengan kondisi wanita yang sedang istihadhah. Nabi bersabda “Jangan kamu tinggalkan shalat, istihadah ini adalah urat. Akan tetapi hendaknya kamu tinggalkan shalat sesuai jumlah hari di masa haidh. Lalu mandi dan shalatlah.” [HR Bukhari] Maka wanita istihadhah membersihkan darahnya lalu meletakkan secarik kain atau pembalut di kemaluannya lalu ia wudhu setiap kali akan shalat. Demikian pula orang yang selalu memakai kateter atau pampers karena sakit. Ia bersihkan najis lalu pakai pampers yang suci dan wudhu setiap kali akan shalat. Satu wudhu untuk satu shalat. Jika penggunaan air dilarang oleh dokter maka ia tayammum. Dan orang yang sakit parah diperkenankan menjamak shalatnya. Sebagian ulama berkata “Jika air kencing keluar terus menerus maka setiap kali kencing terkumpul di kateter/pampers dan bocor, maka ia wudhu tiap kali masuk waktu shalat dan menyumbat dengan sesuatu di kemaluannya lalu ia shalat dan tidak mengapa jika masih ada air kencing yang keluar.”
Tidakramai daripada kita diberi peluang menjaga ayah dan ibu. Ada yang menjadi yatim piatu sejak kecil, ada yang ibu bapa pergi mengejut tanpa sakit. Maka, tiadalah kesempatan untuk menyemai pahala berlipat ganda menyantuni mereka. Buat anak-anak yang diberi peluang keemasan saat ibu ayah diuji dengan sakit, janganlah mengeluh.
Salat diwajibkan untuk semua Muslim yang balig dan berakal. Mereka adalah mukalaf, orang yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan salat hanyalah anak yang belum balig dan orang yang tak wanita yang sedang nifas dan haid diperbolehkan untuk tidak salat. Lantas, bagaimana dengan orang yang sakit? Orang yang sakit tetap diwajibkan untuk salat. Namun, ada beberapa keringanan bagaimana dengan orang yang tak mampu berdiri, tak mampu duduk, bahkan tak mampu menggerakkan tubuhnya? Simak tata cara salat bagi orang sakit di bawah ini!1. Bagi yang tidak mampu berdiri yang tak mampu berdiri, diperbolehkan salat sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikut Dengan duduk bersila. Jika tak memungkinkan, diperbolehkan duduk dengan cara apa pun yang mudah dilakukan. Duduk menghadap ke kiblat. Namun jika tidak memungkinkan, maka tidak mengapa. Cara bertakbir dan bersedekap sama seperti salat dalam keadaan berdiri. Tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga, kemudian tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri. Cara rukuknya yaitu membungkukkan badan sedikit. Ini merupakan bentuk imaa sebagaimana dalam hadis Jabir. Lalu, kedua telapak tangan di lutut. Cara sujudnya juga sama sebagaimana sujud biasa, jika memungkinkan. Jika tak memungkinkan, maka membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika rukuk. Cara tasyahud yaitu dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti biasa. Baca Juga Tata Cara Salat Gerhana Matahari, Bacaan Niat Salat Kusuf Menurut PBNU 2. Bagi orang yang tidak mampu duduk sekaligus seseorang sakit dan tak mampu berdiri maupun duduk, maka diperbolehkan untuk salat sambil berbaring. Salat sambil berbaring ada dua macam, yaitu ala janbin berbaring menyamping dan mustalqiyan telentang. 1. ala janbin berbaring menyamping Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tak bisa menyamping ke kanan, maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat, maka tidak mengapa. Cara bertakbir dan bersedekap sama seperti salat dalam keadaan berdiri. Tangan diangkat sejajar dengan telinga, setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri. Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit. Ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadis Jabir. Kemudian, kedua tangan diluruskan ke arah lutut. Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut. Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut, namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat. 2. mustalqiyan telentang Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau apa pun sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan, maka tidak mengapa. Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana salat dalam keadaan berdiri. Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit. Ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadis Jabir. Kemudian, kedua tangan diluruskan ke arah lutut. Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut. Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut, namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah kiblat. 3. Bagi yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya tak mampu menggerakkan anggota tubuh, namun bisa menggerakkan mata, maka diperbolehkan untuk salat dengan menggerakkan mata. Ini masih termasuk makna al-imaa`.Kedipkan mata sedikit ketika takbir dan rukuk, kemudian kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan salat. Jika lisan tak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan salat pun dapat dibaca dalam tak mampu menggerakkan anggota tubuh sama sekali, namun masih sadar, maka salat dilakukan dengan hati. Maksudnya adalah membayangkan dalam hati gerakan-gerakan salat yang disertai gerakan lisan ketika membaca bacaan salat. Jika lisan tak mampu digerakkan, maka bacaan salat pun dibaca dalam itu tadi tata cara salat bagi muslim yang dalam keadaan sakit. Dalam kondisi apa pun, jangan sampai meninggalkan salat ya! Baca Juga Wabah COVID-19 Salat Jumat di Istiqlal Diganti Salat Zuhur di Rumah
4 Lampin pakai buang - bawalah sekurang-kurangnya 10 keping atau lebih. 5. Ubat-ubatan - paling penting! Boleh minta nasihat doktor semasa pergi dapatkan suntikan vaksin dan mungkin boleh dapatkan Paracatemol, selsema dan batuk. Ini adalah persediaan awal untuk mengelak sebarang kekalutan jika anak-anak jatuh sakit.
Agama Islam penuh dengan kemudahan. Semua yang diperintahkan dalam Islam disesuaikan dengan kemampuan hamba. Allah Ta’ala berfirmanفَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” QS. At Taghabun 16.Termasuk dalam ibadah shalat, ibadah yang paling agung dalam Islam. Terdapat banyak kemudahan dan keringanan di dalamnya. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas mengenai kemudahan dan keringanan shalat bagi orang Yang Sakit Tetap Wajib ShalatKeringanan-Keringanan Bagi Orang Yang SakitTata Cara Shalat Bagi Orang SakitOrang Yang Sakit Tetap Wajib ShalatShalat diwajibkan kepada semua Muslim yang baligh dan berakal. Merekalah mukallaf, orang yang terkena beban syariat. Yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah orang yang bukan mukallaf, yaitu anak yang belum baligh dan orang yang tidak berakal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaرُفعَ القلمُ عن ثلاثةٍ عن النائمِ حتى يستيقظَ ، وعن الصبيِّ حتى يحتلمَ ، وعن المجنونِ حتى يعقِلَ“Pena catatan amal diangkat dari tiga jenis orang orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal” HR. An Nasa-i no. 7307, Abu Daud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3513.Demikian juga yang dibolehkan untuk meninggalkan shalat adalah wanita haid dan nifas. Ibunda Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya,أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ“Apakah kami perlu mengganti shalat kami ketika sudah suci?” Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah Khawarij? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahualaihi wasallam, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk menggantinya” HR. Al Bukhari no. 321.Ummu Salamah radhiallahu’anha juga mengatakanكانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعين يوما“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk tidak shalat selama 40 hari” HR. Ibnu Majah no. 530, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah.Maka kita lihat ternyata orang sakit tidak dikecualikan. Sehingga tidak ada udzur untuk meninggalkan shalat selama ia baligh, berakal, tidak haid, dan tidak Bagi Orang Yang Sakit1. Dibolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjidShalat berjama’ah wajib bagi lelaki. Namun dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah kesulitan seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau Ibnu Umar radhiallahu’anhumaكَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ” أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ shalatlah di rumah-rumah kalian ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699.Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkataخرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه““Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan” HR. Muslim no. 698.Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskanصلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في الأسواق“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah kesulitan yang dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.”[1]Dan kondisi sakit terkadang menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam. Aisyah radhiallahu’anha berkataأن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami orang-orang” HR. Bukhari no. 7303.Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakanلقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ“Aku melihat bahwa kami para sahabat memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” HR. Muslim no. 654.Dalil-dalil ini menunjukkan bolehnya orang yang sakit untuk tidak menghadiri shalat jama’ Dibolehkan menjamak shalatMenjamak shalat dibolehkan secara umum ketika ada masyaqqah kesulitan. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakanجمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” HR. Muslim no. 705.Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak karena ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakanوالقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” Majmu’ Al Fatawa, 22/293.Maka, orang yang sakit jika sakitnya membuat ia kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing, dibolehkan baginya untuk menjamak Dibolehkan shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri4. Dibolehkan shalat sambil berbaring jika tidak mampu dudukJika orang yang sakit masih sanggup berdiri tanpa kesulitan, maka waijb baginya untuk berdiri. Karena berdiri adalah rukun shalat. Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil bahwa berdiri adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanyaارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabdaإذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…“Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” HR. Bukhari 757, Muslim 397.Namun jika orang yang sakit kesulitan untuk berdiri dibolehkan baginya untuk shalat sambil duduk, dan jika kesulitan untuk duduk maka sambil berbaring. Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu, beliau mengatakanكانتْ بي بَواسيرُ ، فسأَلتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الصلاةِ ، فقال صَلِّ قائمًا ، فإن لم تستَطِع فقاعدًا ، فإن لم تستَطِعْ فعلى جَنبٍ“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” HR. Al Bukhari, no. 1117.Dalam riwayat lain disebutkan tambahanفإن لم تستطع فمستلقياً“Jika tidak mampu maka berbaring telentang”Tambahan riwayat ini dinisbatkan para ulama kepada An-Nasa`i namun tidak terdapat dalam Sunan An-Nasa`i. Namun para ulama mengamalkan tambahan ini, yaitu ketika orang sakit tidak mampu berbaring menyamping maka boleh berbaring Dibolehkan shalat semampunya jika kemampuan terbatasJika orang yang sakit sangat terbatas kemampuannya, seperti orang sakit yang hanya bisa berbaring tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya, namun masih berisyarat dengan kepala, maka ia shalat dengan sekedar gerakan Jabir radhiallahu’anhu beliau berkataعاد صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مريضًا فرآه يصلي على وسادةٍ ، فأخذها فرمى بها ، فأخذ عودًا ليصلي عليه ، فأخذه فرمى به ، وقال صلِّ على الأرضِ إن استطعت ، وإلا فأوم إيماءً ، واجعل سجودَك أخفضَ من ركوعِك“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` isyarat kepala. Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78.Makna al-imaa` dalam Lisanul Arab disebutkanالإيماءُ الإشارة بالأَعْضاء كالرأْس واليد والعين والحاجب“Al-Imaa` artinya berisyarat dengan anggota tubuh seperti kepala, tangan, mata, dan alis.”Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin mengatakanفإن كان لا يستطيع الإيماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه، فيغمض قليلاً للركوع، ويغمض تغميضاً للسجود“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud maka ia berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan lebih banyak ketika sujud.” [2]6. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang membantuMenghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya berusaha tetap menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta bantuan orang yang ada disekitarnya untuk menghadapkan ia ke kiblat. Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya untuk tidak menghadap kiblat. Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakanوالمريض إذا كان على السرير فإنه يجب أن يتجه إلى القبلة إما بنفسه إذا كان يستطيع أو بأن يوجهه أحد إلى القبلة، فإذا لم يستطع استقبال القبلة وليس عنده من يعينه على التوجه إلى القبلة، يخشى من خروج وقت الصلاة فإنه يصلي على حسب حاله“Orang yang sakit jika ia berada di atas tempat tidur, maka ia tetap wajib menghadap kiblat. Baik menghadap sendiri jika ia mampu atau pun dihadapkan oleh orang lain. Jika ia tidak mampu menghadap kiblat, dan tidak ada orang yang membantunya untuk menghadap kiblat, dan ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sebagaimana sesuai keadaannya”[3]Orang yang sakit tentunya memiliki keadaan yang beragam dan bervariasi, sehingga tidak memungkinkan kami merinci tata cara shalat untuk semua keadaan yang mungkin terjadi pada orang sakit. Namun prinsip dasar dalam memahami tata cara orang sakit adalah hendaknya orang sakit berusaha sebisa mungkin menepati tata cara shalat dalam keadaan sempurna, jika tidak mungkin maka mendekati sempurna. Allah Ta’ala berfirmanفَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” QS. At Taghabun 16.Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabdaسدِّدوا وقارِبوا“Berbuat luruslah, atau jika tidak mampu maka mendekati lurus” HR. Bukhari no. 6467.Kaidah fikih yang disepakati ulamaما لا يدرك كله لا يترك كله“Sesuatu yang tidak bisa digapai semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya”Berikut ini tata cara shalat bagi orang yang kami ringkaskan dari penjelasan Syaikh Sa’ad bin Turki Al-Khatslan[4] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [5]1. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiriOrang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan sebagai berikutYang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari ketika tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti Tata cara shalat orang yang tidak mampu dudukOrang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macama. ala janbin berbaring menyampingIni yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranyaBerbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika tidak bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah mustalqiyan telentangJika tidak mampu berbaring ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranyaBerbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan kanan diletakkan di atas tangan rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk. Kedua tangan diluruskan ke arah tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap berisyarat ke arah Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya lumpuh totalJika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan mata, maka shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan afiyah dan salamah kepada pembaca sekalian, dan semoga Allah senantiasa menolong kita untuk tetap dapat beribadah dalam kondisi sakit. Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru juga Macam-macam Doa Iftitah—Penulis Yulian Purnama Artikel kaki[1] Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 15/229, Asy Syamilah[3] Video youtube Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 15/229, Asy Syamilah
Jadi sangat penting untuk memahami bagaimana tata cara bersuci dan sholat saat sakit.Sebagai tambahan referensi, berikut tata cara sholat bagi orang sakit, lengkap dengan hukum dan doa meminta kesembuhan yang sudah dihimpun berbagai sumber pada Jumat (27/3).
Shalat adalah salah satu penanda keislaman seorang Muslim. Shalat yang merupakan rukun Islam wajib dikerjakan dalam kondisi apapun, bahkan meski ketika sakit Ta’ala berfirmanفَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ“Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu” QS. At Taghabun 16.Berikut adalah cara shalat ketika sakit yang telah diringankan oleh Allah SWT1. Shalat di rumahBagi pria, shalat diwajibkan dilakukan di mesjid secara berjamaah. Namun ketika mendapat sakit atau udara terasa sangat dingin, maka dibolehkan untuk shalat di rumah Ibnu Umar radhiallahu’anhumaكَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ” أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ shalatlah di rumah-rumah kalian ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699.Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkataخرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال ” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه ““Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan” HR. Muslim no. 698.Baca jugaKeutamaan Shalat FajarKeutamaan Shalat Tahiyatul MasjidTata Cara Shalat JamakShalat dalam KendaraanTata Cara Sholat Sunnah Rawatib2. Menjamak shalatKetika seorang yang sedang sakit mengalami kesulitan untuk mengerjakan shalat tepat waktu, maka ia dibolehkan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakanجمع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بين الظهرِ والعصرِ ، والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” HR. Muslim no. 705.Para ulama mengatakan alasan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallammenjamak karena ada masyaqqah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakanوالقصر سببه السفر خاصة ، لا يجوز في غير السفر. وأما الجمع فسببه الحاجة والعذر“Dibolehkannya men-qashar shalat hanya ketika safar secara khusus, tidak boleh dilakukan pada selain safar. Adapun menjamak shalat, dibolehkan ketika ada kebutuhan dan udzur” Majmu’ Al Fatawa, 22/293.Baca jugaManfaat Shalat TarawihFadhilah Tarawih Setiap MalamShalat Tarawih bagi WanitaShalat Lailatul QadarHukum shalat berjamaah dengan pacar 3. Bersuci saat sakitMeskipun sedang sakit, seseorang wajib bersuci sebelum shalat. Jika ia masih mampu, maka ia wajib bersuci dengan air. Namun jika ia tidak mampu, maka boleh dibantu oleh orang lain untuk tidak bisa juga, ia boleh bersuci dengan tayamum. Caranya adalah dengan mengepulkan kedua telapak tangannya pada tanah yang suci atau dinding yang berdebu, lalu mengusapkannya pada wajah dan telapak Shalat sambil dudukRasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang sakit wasir, sehingga sulit berdiri ketika shalat. Beliau menasehatkan,صَلِّ قائماً، فإِن لم تستطع فقاعداً، فإِن لم تستطع فعلى جَنب“Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu, sambil berbaring miring.” HR. Bukhari 1117.Jika tidak sanggup untuk berdiri, maka diperbolehkan untuk shalat dengan cara duduk. Adapun duduk yang disarankan adalah dengan bersila. Jika tidak bisa juga, maka dibolehkan untuk duduk dengan meluruskan kaki ke Shalat sambil berbaringNabi shallallahu alaihi wa sallam bersabdaمن صلى قائماً فهو أفضل، ومن صلّى قاعداً فله نصف أجر القائم، ومن صلى نائماً فله نصف أجر القاعد“Orang yang shalat sambil berdiri adalah yang paling baik. Orang yang shalat sambil duduk mendapat pahala separo dari yang berdiri. Orang yang shalat sambil berbaring mendapat pahala separo dari yang duduk.” HR. Bukhari 1116 dan Muslim 735.Jika tidak bisa shalat dengan cara duduk, maka diperbolehkan untuk duduk dengan cara berbaring. Arahkan kedua kaki ke arah kiblat lalu baringkan tubuh ke arah kanan menghadap kiblat. Beri bantal di kepala agar menjadi agak jugaShalat DhuhaShalat IstikharahMacam – Macam Shalat SunnahKeutamaan Shalat TarawihKeutamaan Shalat Tarawih Berjamaah5. Shalat dengan isyaratDari Jabir radhiallahu’anhu beliau berkataعاد صلى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مريضًا فرآه يصلي على وسادةٍ ، فأخذها فرمى بها ، فأخذ عودًا ليصلي عليه ، فأخذه فرمى به ، وقال صلِّ على الأرضِ إن استطعت ، وإلا فأوم إيماءً ، واجعل سجودَك أخفضَ من ركوعِك“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu Nabi bersabda shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak mampu maka shalatlah dengan imaa` isyarat kepala. Jadikan kepalamu ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78.Jika tubuh sama sekali tidak bisa bergerak dan hanya bisa mengedipkan mata, maka dibolehkan untuk shalat dengan isyarat atau kedipan Cara rukuk saat shalat dengan dudukAdapun cara rukuk ketika shalat dengan duduk adalah dengan sedikit membungkukkan badan sambil kedua tangan menyentuh Cara rukuk saat shalat dengan berbaringSedangkan cara rukuk ketika shalat dengan berbaring adalah dengan sedikit menundukkan Cara rukuk saat shalat dengan isyaratRukuk dengan isyarat cukup dilakukan dengan mengedipkan mata sebagai tanda sedang melakukan Cara sujud saat shalat dengan dudukSujud dilakukan seperti biasanya jika ia masih sanggup untuk melakukan sujud. Namun jika hanya bisa duduk maka dibolehkan untuk sujud dengan menundukkan kepala lebih jugaPergaulan Dalam IslamCinta Sejati Dalam Islam Kisah Cinta Fatimah Az ZahraTa’aruf Menurut IslamCinta Menurut Islam10. Cara sujud saat shalat dengan berbaringCara sujud saat shalat dengan berbaring hampir sama dengan cara mengerjakan rukuk, hanya saja tundukkan kepala lebih dalam dibandingkan Cara sujud saat shalat dengan isyaratSama seperti rukuk, mengerjakan sujud ketika shalat dengan isyarat dilakukan dengan mengedipkan mata Salam saat shalat dengan duduk, berbaring, dan isyaratKetika mengerjakan shalat dengan duduk dan berbaring, maka salam dilakukan seperti biasa. Namun ketika shalat dengan isyarat, maka salam dilakukan dengan kedipan mata. Setiap gerakan dalam shalat dengan isyarat dibedakan dengan kedipan artikel tentang cara shalat orang yang sakit. Sakit tidak akan menghalangi kewajiban shalat seorang Muslim selama ia masih memiliki akal. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui (dosa) yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 (tahun), itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang sedang shalat"[53]. Yang terlarang adalah lewat di depan orang yang shalat sendirian atau di depan imam.
Hukum Menggendong Anak Yang Menggunakan Pampers Tatkala Shalat Menggendong anak yang menggunakan pampers tatkala shalat tidak keluar dari beberapa keadaan Pertama Diketahui bahwa anak ini dalam keadaan suci tidak buang air di pampers tatkala kita shalat. Maka sepakat para ulama bahwa tidak mengapa menggendongnya dan shalat tetap sah, hanya saja sebagian ulama memandang hukumnya makruh karena takut menyibukannya dalam shalat[1] Kedua Tidak diketahui, apakah dalam keadaan suci ataukah tidak. Maka ini hukum asalnya tidak mengapa menggendongnya karena asalnya tidak ada najis[2] Ketiga Diketahui bahwa sedang ada najis di dalam pampers anak tersebut. Dan najis tersebut tidak keluar mengenai baju orang yang shalat karena terhalangi oleh pampers. Najis di dalam pampers lebih tepat kita analogikan dengan najis yang diletakan di dalam botol. Permasalahan ini persis dengan hukum seseorang yang ingin pergi ke dokter sambil membawa sample air seninya di botol, lalu ia letakan di kantongnya. Maka apabila ia shalat sambil membawa botol tersebut yang tertutup rapat di kantung bajunya, apakah shalatnya sah atau tidak?. Maka ada dua pendapat di kalangan para ulama Pendapat pertama jumhur Ulama Tidak sah shalat orang yang membawa najis yang tidak mengenainya apabila najis tersebut bukan pada tempat asalnya. Apabila najis tersebut berada di tempat asalnya dalam hal bayi/manusia, asal tempat najisnya adalah di dalam perutnya, maka tetap sah shalatnya. Ini adalah madzhab mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hanbali, Hanafi, dan Malikiyyah. [3] Contoh yang tidak berada di tempat asalnya najis yang diletakkan di dalam botol, lalu ia membawanya. Dalil-dalil Semua dalil yang dijadikan sandaran oleh ulama yang memilih pendapat ini adalah dalil-dalil yang memerintahkan untuk mensucikan pakaian dan lainnya. Seperti Firman Allah azza wa jalla وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ “Dan pakaianmu maka sucikanlah”. Hadits Asma’ binti Abu Bakr إِذَا أَصَابَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الْحَيْضِ فَلْتَقْرُصْهُ، ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ لِتُصَلِّ» “Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah, maka gosokkanlah kemudian percikkanlah dengan air, kemudian hendaklah ia shalat dengannya”. [4] Hadits Ibnu Abbas مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ، فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمة Suatu kali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda “Sungguh mereka berdua sedang diazab, mereka tidak diazab dengan dosa yang sangat besar, adapun yang salah satunya, dia tidak menjaga dirinya dari kencing, sedangkan yang satunya, dia diazab karena ia suka mengadu domba”. [5] Najis yang ada pada benda tersebut botol atau pampers adalah najis yang diletakkan, maka ia menyerupai najis yang tampak di luar. [6] Orang yang membawa najis tersebut belum bisa dikatakan telah mensucikan dirinya dari najis secara total. Pendapat Kedua Pendapat sebagian ulama Syafiíyah Shalatnya tetap sah, karena najisnya tidak mengenai baju orang yang sedang shalat, dan juga tidak mengenai tempat orang yang sedang shalat. Maka hukumnya sama dengan najis yang masih tertutup dalam perut manusia. Berkata As-Syirozi وإن حمل قارورة فيها نجاسة وقد شد رأسها ففيه وجهان أحدهما يجوز “Jika seseorang membawa botol yang di dalamnya ada najis dan tertutup, maka di sana ada dua pendapat dari ulama Syafi’iyyah, yang pertama adalah boleh shalatnya sah”. [7] Ibnu Qudamah berkata وَلَوْ حَمَلَ قَارُورَةً فِيهَا نَجَاسَةٌ مَسْدُودَةً، لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ لَا تَفْسُدُ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّ النَّجَاسَةَ لَا تَخْرُجُ مِنْهَا، فَهِيَ كَالْحَيَوَانِ “Seandainya seseorang membawa botol yang tertutup dan di dalamnya ada najis, maka tidak sah shalatnya. Menurut sebagian ulama’ Syafi’iyyah tidak batal shalatnya, karena najis tersebut tidak keluar dan tidak mengenainya, sama seperti membawa hewan yang suci”. [8] Pendapat yang lebih kuat Jika seseorang mengetahui bahwasanya di pampers anaknya ada najis maka hendaknya ia tidak menggendong anak/bayi tersebut agar keluar dari perselisihan ulama, karena jumhur mayoritas ulama menyatakan shalatnya batal, karena dalam shalat diperintahkan untuk menjauhi najis. Akan tetapi jika ternyata dalam kondisi darurat anaknya menangis jika tidak digendong, maka tidak mengapa dan shalatnya tetap sah. Inilah yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Abdul Muhsin az-Zaamil[9] dan asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili[10] hafidzohumallahu. Hal ini dikuatkan dengan hadits Abu Qotadah al-Anshori, ia berkata أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلِأَبِي العَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا» “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari pernikahannya dengan Abul Ash bin Abdi Syams, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sujud, maka beliau meletakkan Umamah, dan apabila beliau bangkit, beliau menggendongnya kembali”. [11] Dan anak-anak atau bayi secara umum tidak aman untuk terbebaskan dari najis. Namun Nabi tidak mengecek terlebih dahulu dan tidak mengecek setelah shalat apakah keluar najis ketika sedang shalat atau tidak. Wallahu a’lam. Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA. _______________________ [1] Imam Nawawi mengatakan فَإِذَا حَمَلَ حَيَوَانًا طَاهِرًا لَا نَجَاسَةَ عَلَى ظَاهِرِهِ فِي صَلَاتِهِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ بِلَا خِلَافٍ “Apabila seseorang membawa hewan yang suci di dalam shalat dan tidak ada najis di bagian luar hewan tersebut, maka shalatnya sah tanpa ada perselisihan”. Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzzab, Annawawi, 3/150 Maka begitu juga dengan membawa anak kecil yang suci dan tidak ada najis di bagian luarnya. Berkata imam Al Kasani فَأَمَّا حَمْلُ الصَّبِيِّ بِدُونِ الْإِرْضَاعِ فَلَا يُوجِبُ فَسَادَ الصَّلَاةِ…وَمِثْلُ هَذَا فِي زَمَانِنَا أَيْضًا لَا يُكْرَهُ لِوَاحِدٍ مِنَّا لَوْ فَعَلَ ذَلِكَ عِنْدَ الْحَاجَةِ أَمَّا بِدُونِ الْحَاجَةِ فَمَكْرُوهٌ. “Adapun membawa anak kecil dan tidak sambil menyusuinya, maka tidak menyebabkan shalat tersebut batal … dan yang demikian itu di zaman sekarang juga tidak dibenci jika ada seseorang yang melakukannya karena kebutuhan, adapun jika tidak ada kebutuhan, maka yang demikian itu makruh”. Badai’ Shanai’, Al Kasani, 1/241-242 Berkata Imam Abdurrahman Ibnu Qudamah Al Maqdisi فإن حمل حيواناً طاهراً أو صبياً لم تبطل صلاته “Seandainya ia membawa hewan yang suci atau anak kecil, maka tidak batal shalatnya”. As-Syarh Al Kabir, Abdurrahman Ibnu Qudamah, 1/475 Berkata Imam Burhanuuddin Mahmud Al Bukhari -madzhab Hanafi- وكذا يكره حمل الصبي في حالة الصلاة؛ لأنه يشغله عن الصلاة، “dan begitu juga dibenci makruh untuk membawa anak kecil tatkala shalat, karena ia akan mengganggu shalatnya”. Al Muhith Al Burhani, Burhanuddin Mahmud bin Ahmad Al Bukhari, 1/379 [2] Masalah ini terbagi menjadi dua kondisi Kondisi Pertama Jika tidak diketahui kapan najis itu ada, apakah di tengah-tengah shalat ataukah setelah shalat, maka shalatnya sah. Alasannya karena tidak diketahui kapan najis itu ada dan pada asalnya shalat yang ia lakukan sah dan najisnya dianggap ada setelah shalat, kemudian keraguan tidak bisa dijadikan sandaran untuk mengatakan shalatnya tidak sah. Berkata As-Syirozi إذَا فَرَغَ مِنْ الصَّلَاةِ ثُمَّ رَأَى عَلَى ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ أَوْ مَوْضِعِ صَلَاتِهِ نَجَاسَةً غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهَا نُظِرَتْ فَإِنْ جَوَّزَ أَنْ تَكُونَ حَدَثَتْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الصَّلَاةِ لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ فِي حَالِ الصَّلَاةِ فَلَا تَجِبُ الْإِعَادَةُ بِالشَّكِّ “Jika seseorang selesai dari shalat, kemudian ia melihat pada pakaian, badannya atau tempat shalatnya ada najis yang tidak bisa dimaafkan, maka dilihat terlebih dahulu, jika ada kemungkinan najis itu ada setelah shalat, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang, karena pada dasarnya najis itu ada bukan saat shalat, sehingga ia tidak wajib untuk mengulang hanya disebabkan ragu-ragu”. Al-Muhadzzab, Assyirozi, 1/121 Berkata Al-Mardawi وَمَتَى وَجَدَ عَلَيْهِ نَجَاسَةً لَا يَعْلَمُ هَلْ كَانَتْ فِي الصَّلَاةِ، أَوْ لَا فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ “Kapanpun orang tersebut mendapati sesuatu yang najis, tetapi dia tidak bisa mengetahui, apakah najis itu ada di dalam shalat ataukah tidak, maka shalatnya sah”. Al-Inshof, Al Mardawi, 1/485 Dengan kata lain, asalnya seseorang yang memulai shalat dengan keadaan suci, dengan sepengetahuan dia, maka ia tetap dalam keadaan suci, kecuali jika ia yakin ada sesuatu yang merusak kesucian tersebut. Dalil akan hal ini bahwasanya Nabi shalat dalam kondisi menggendong cucu beliau Umaamah bintu Zainab. Abu Qotadah al-Anshoori berkata أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلِأَبِي العَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا “Bahwa Rasulullah shallallahu álaihi wasallam shalat sambil menggendong Umaamah putri Zainab binti Rasulullah shallallahu álaih waslalam dan Abul Áash bin Robiáh bin Abdi Syams. Jika Nabi sujud maka Nabi meletakannya, dan jika Nabi berdiri maka menggendongnya” HR Al-Bukhari no 516 dan Muslim no 543 Dan tentu Nabi tidak mengetahui apakah Umaamah sedang mengeluarkan najis atau tidak. Kondisi Kedua Jika najis tersebut tidak mungkin ada kecuali saat shalat, tetapi dia tidak mengetahuinya kecuali setelah shalat, maka ulama berselisih menjadi dua pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalatnya batal Ini adalah qoul jadid dari Imam Syafi’i dan riwayat kedua dari Imam Ahmad. Al-Mawardi mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang mu’tamad. Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, 2/49-50. Alasan mereka adalah karena termasuk syarat sah shalat adalah suci dari hadats dan najis dan tidak ada maaf sekalipun jika ia lupa. Akan tetapi yang benar shalatnya tetap sah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama belakangan dalam madzhab Hanbali dan qoul qodim dari Imam Syafi’.Lihat Al Muhadzzab 1/121 dan Al Inshof 1/486 Dalil mereka adalah riwayat بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ، قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ»، قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا – أَوْ قَالَ أَذًى – “ “Pernah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya, tiba-tiba beliau melepas sandal dan meletakkannya di sebelah kiri, tatkala para sahabat melihat perbuatan beliau, mereka pun ikut melepas sandal-sandal mereka. Selesai shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “Apa yang menyebabkan kalian melepas sandal-sandal kalian?” para sahabat menjawab “Kami melihat engkau melepas sandal, maka kami pun ikut melepas sandal” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan “Tadi Jibril datang dan mengabarkan padaku bahwa ada najis di sandalku””. HR. Abu Dawud No. 650 Segi pendalilan Shalat adalah ibadah yang tidak terpisah-pisah, jika tidak sah pada awalnya, maka tidak sah juga akhirnya. Sekiranya itu membatalkan, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan mengulang shalat dari awal lagi, dan tentunya tidak ada beda, apakah beliau tahu di tengah-tengah shalat atau setelah shalat. Dan Allah azza wa jalla telah memaafkan hamba-hambanya karena lupa, tidak tahu dan terpaksa. Maka jika ia shalat dengan membawa najis karena tidak tahu, shalatnya tetap sah.Lihat Al Muhadzzab 1/121 dan Al Inshof 1/486 [3] Berkata Ibnu Abidin -madzhab Hanafi- لَوْ حَمَلَ قَارُورَةً مَضْمُومَةً فِيهَا بَوْلٌ فَلَا تَجُوزُ صَلَاتُهُ لِأَنَّهُ فِي غَيْرِ مَعْدِنِهِ “Seandainya ia membawa botol yang berisi air kencing, maka shalatnya tidak sah, karena kencing tersebut bukan pada tempat asalnya”. Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/403 Berkata Nawawi -madzhab Syafi’i- وَلَوْ حَمَلَ قَارُورَةً مُصَمَّمَةَ الرَّأْسِ بِرَصَاصٍ أَوْ نَحْوِهِ، وَفِيهَا نَجَاسَةٌ، لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ عَلَى الصَّحِيحِ. “Seandainya seseorang membawa botol tertutup dengan sesuatu, di dalamnya terdapat sesuatu yang najis, maka tidak sah shalatnya menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab”. Raudhoh Thalibin, Nawawi, 1/279 Berkata Al Mawardi -madzhab Hanbali- لَوْ حَمَلَ قَارُورَةً فِيهَا نَجَاسَةٌ أَوْ آجُرَّةً بَاطِنُهَا نَجِسٌ لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ. “Seandainya seseorang membawa botol, di dalamnya terdapat sesuatu yang najis atau gumpalan tanah yang di bagian dalamnya ada najis, maka tidak sah shalatnya”. Al-Inshaf, Al Mawardi, 1/488 Berkata Kholil bin Ishaq -madzhab Maliki- وأولى من تعلقه حمله أو ركوب الصبي عليه وغلب على ظنه نجاسة ثيابه فتبطل وإن لم يماس النجاسة كحمله نعله المتنجس “Lebih parah lagi apabila anak tersebut menempel padanya, dengan menggendongnya, atau anak itu menaikinya, sedangkan prasangka kuat baju anak itu najis menurut, maka shalatnya batal, meskipun najis tersebut tidak mengenainya, sama seperti orang yang membawa sandalnya yang terkena najis”. Syarh Azzurqoni Ala Mukhtashor Al kholil, 1/71 [4] HR. Abu Dawud 361, Nasa’i 138. [5] HR. Bukhari 218, Muslim 292. [6] Al Hawi Al Kabir, Al Mawardi, 2/265 [7] Al Muhadzzab, Assyirozi, 1/119 [8] Al Mughni, Ibnu Qudamah, 2/51 [9] Lihat [10] Lihat [11] HR. Bukhari No. 526, dan Muslim No. 543.
46g2D. 75p7nzqlaz.pages.dev/39775p7nzqlaz.pages.dev/58375p7nzqlaz.pages.dev/53575p7nzqlaz.pages.dev/45775p7nzqlaz.pages.dev/1475p7nzqlaz.pages.dev/31875p7nzqlaz.pages.dev/38775p7nzqlaz.pages.dev/369
shalat orang sakit pakai pampers